Pondok pesantren telah lama menorehkan jejak dakwah yang mendalam di bumi Nusantara, berperan sentral sebagai pusat penyebaran agama Islam yang tak tergantikan. Sejak berabad-abad lalu, sebelum era modernisasi pendidikan, pesantren adalah mercusuar ilmu dan spiritualitas yang menyinari berbagai pelosok negeri. Para ulama dan kiai di dalamnya tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi motor penggerak penyebaran nilai-nilai Islam, membentuk fondasi masyarakat Muslim di Indonesia. Peran ini terus berlanjut hingga kini, mengukuhkan posisinya dalam sejarah bangsa.
Awalnya, peran pesantren sebagai pusat penyebaran agama sangat organik. Kiai atau ulama akan mendirikan halaqah atau pengajian di sekitar kediaman mereka, yang kemudian berkembang menjadi kompleks sederhana tempat santri tinggal dan belajar. Melalui sistem ini, ilmu Al-Qur’an, Hadis, Fikih, dan Tasawuf diajarkan secara langsung. Para santri yang telah menyelesaikan pendidikan mereka kemudian kembali ke daerah asal, membawa serta ilmu dan semangat dakwah yang mereka peroleh. Ini menciptakan efek berantai, di mana setiap santri yang pulang menjadi agen penyebar agama baru di komunitasnya masing-masing. Misalnya, banyak sejarawan mencatat bagaimana pesantren di Jawa, seperti Pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899, menjadi basis kuat untuk penyebaran ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat, menjangkau ribuan orang dari berbagai daerah.
Lebih dari sekadar transfer ilmu, peran pesantren sebagai pusat penyebaran agama juga mencakup pembentukan karakter dan moralitas santri. Mereka diajarkan kemandirian, kesederhanaan, dan nilai-nilai akhlak mulia yang menjadi cerminan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ketika santri kembali ke masyarakat, mereka tidak hanya membawa pengetahuan agama tetapi juga teladan hidup yang baik. Ini adalah jejak dakwah yang holistic, menyentuh aspek intelektual, spiritual, dan sosial.